Kriiiiing!!!
Bel tanda istirahat berbunyi. Muri-murid
berhamburan keluar kelas. Ada yang menuju kantin, ada yang menuju perpustakaan,
ada pula yang menuju musholla. Amel hendak menuju keluar kelas ketika seseorang
menarik tangannya. Amel menoleh, dilihatnya Lia yang kini ada dihadapannya.
“ Ada apa Li?”
“ Mau kemana kamu? Sini aja, temani
kita di kelas” Kata Lia
“ Lho, gak ke kantin?” tanya Amel
“ Lagi mual. Sini, kita kumpul aja.
Temani aku, bareng Desi dan Gina juga.”
Lia menggandeng Amel. Menariknya agar
ikut Lia menuju bangku tempat meraka berkumpul. Sudah ada Gina dan Desi disana.
Seperti biasa, Desi sibuk dengan handphonenya. Pasti sedang facebook-an atau
chatting dengan pacarnya. Sedangkan Gina juga seperti biasa, membaca buku
pelajaran dan memberi garis dengan stabilo warna kuning di setiap kosakata yang
dianggapnya penting.
Lia duduk di sebelah Gina. Amel
menuju bangku yang ada di sebelah Desi. Mereka sengaja mengatur bangku agar
dapat duduk berhadapan berempat.
“ Gak ada yang laper ya? Gak ada cemilan
gak seru nih” kata Gina sambil membalik lembaran bukunya.
Gina memang rajin. Diantara kami
berempat, Gina pula yang paling pintar. Berulang kali kami selamat dari ujian
yang mengerikan. Dibalik itu semua Gina-lah penyelamat kami. Gina yang selalu
gigih mengajari walaupun kami enggan.
“ Ini ceritanya, kita diminta
menghormati Lia yang lagi mual. Kenapa sih kamu? Telat makan? Maag-mu kambuh?”
seloroh Desi.
Mata Desi tetap memandangi layar
handphone-nya. Seolah-olah ia bisa ketinggalan berita penting jika pandangannya
beralih ke tempat lain. Diantara kami berempat, Desi yang paling ‘canggih’ dan
‘update’. Desi yang paling keren dan gaul.
“ Lagi badmood nih. Ah, sebel
banget hari ini” kata Lia.
Lia adalah cewek paling cantik
diantara kami berempat. Matanya yang berbinar-binar, kulitnya yang bersih,
senyumannya yang manis, menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum adam di sekolah
ini. dan diantara kami berempat, Amel hanya bisa merendahkan diri. Amel bukan
siapa-siapa tanpa mereka. Amel sangat menyayangi teman-temannya, terutama Lia.
Lia yang selalu baik padanya dan yang paling baik diantara semuanya.
“ Ada masalah apa memangnya, Li?”
tanya Amel penasaran.
“ Ah, ngga ada apa-apa kok. Cuma
lagi sebel kalau ada penghianat” sahut Lia.
“ Apa maksudnya Li? Cerita dong”
kata Desi sambil memainkan kedua alisnya.
Gina melihat kami berempat. Lalu
menutup bukunya. Ia menyandarkan diri di kursinya lalu bersedekap. Seakan tahu,
ada sesuatu yang serius. Sesuatu yang tidak biasa.
“ Hahaha. Gimana kalau langsung aja
cerita ya? To the point, gitu?” kata Lia dengan mimik muka tidak enak.
Dari awal, Amel sudah merasa. Ada
yang tidak beres. Ada yang tidak biasa.
“ Ada apa sih? Langsung cerita aja
Lia” kata Amel
“ Oke, langsung aja ya” Kata Lia
sambil tersenyum. “Kamu kenal mas David kan? Pacar aku. Kakak kelas kita di XII
IPA 3?” tanyanya pada Amel.
“ Iya, tahu. Terus kenapa? Dan
kenapa kamu hanya tanya padaku?” Amel tak mengerti.
“ Ngapain kemarin kamu ketemuan
dengan mas David? Diam-diam dibelakangku?”
Jlebb. Darimana Lia tahu? David
memang meminta Amel untuk bertemu. Tapi itupun tidak ada maksud apa-apa. Toh,
yang mereka perbincangkan adalah Lia.
“ Ngga ada apa-apa Lia. Dia yang
minta aku ketemuan” Amel mulai gugup.
“ Kamu itu sahabatku Mel. Teganya
kamu berbuat seperti ini?”
“ Tapi Li. Beneran gak ada
apa-apa!” kata Amel bersungguh-sungguh.
“ Harusnya nih Mel, meskipun kamu
diajak ya jangan mau. Gimana sih kamu ini” kata Desi sambil tersenyum sinis.
Amel berbisik lirih dalam hati.
Seperti inikah yang mereka sebut sahabat? Tahukan mereka rasanya terpojok
seperti ini? Saat perkataan apapun tak sanggup menjelaskan kebenaran yang ada?
“ Sudah biasa buatku, kalau pacarku
diambil orang. Tapi aku gak nyangka Mel. Kenapa harus kamu? Orang yang paling
kupercaya?” kata Lia sambil mengusap air matanya yang menetes membasahi
pipinya.
“ Maafin aku Li, karena memang
kemarin aku bertemu dengan mas David. Tapi sungguh Li, aku gak bermaksud
seperti itu. Mana mungkin aku mengambil pacar sahabatku Li? Kamu salah faham
Li.” Amel berbicara sambil sesenggukan.
“ Ah sudahlah. Kalau gak salah,
ngapain minta maaf?” kata Lia sambil bangkit dari tempat duduknya.
Lia pergi meninggalkan kelas. Hanya
tersisa Gina, Amel, dan Desi di ruangan itu. Amel menangis sesenggukan.
Sungguh, Amel tidak mau kehilangan sahabatnya hanya karena kesalahfahaman ini.
David memang mengajaknya bertemu. David langsung menuju rumah Amel kemarin.
Tapi hanya bertamu biasa. Tak ada apa-apa. Amel juga tidak mengerti mengapa
kemarin David ingin sekali bertemu dengannya dan membicarakan hal-hal yang
tidak penting.
“ Dasar penghianat” Kata Desi
sambil bangkit dari tempat duduknya.
Desi menatap benci kepada Amel.
Lalu pergi meninggalkan kelas, mengejar Lia yang terlebih dahulu pergi. Amel
hanya tertunduk lesu, sambil mengusap air matanya yang tak mau berhenti
menetes. Tak lama kemudian Gina berdiri dari kursinya.
“ Na, kamu juga mau pergi?” tanya
Amel.
Gina tersenyum. Lalu mendekati Amel
dan duduk di sampingnya. Gina lalu memeluk Amel.
“ Mel, kamu kan kenal baik dengan
Lia. Kamu tahu orang seperti apa Lia. Lia paling gak suka kalau ada yang dekat
dengan dengan pacarnya, seujung kuku-pun. Lia itu mudah cemburu. Ngerti kan?”
kata Gina sambil mengelus kepala Amel.
“ Iya Na, aku ngerti. Tapi aku gak
tahu kalau sampai seperti ini akibatnya. Padahal aku beneran gak ada apa-apa
dengan mas David, Na. Sungguh.”
“ Aku tahu Mel. Aku ngerti, kamu
gak ngelakuin apa-apa. Tapi memang seperti itulah Lia. Kamu sudah minta maaf
kan? Sekarang kamu tenangin diri kamu ya. Sebentar lagi bel masuk bunyi, masih
ada dua mata pelajaran sebelum pulang. Kamu kuatin diri. Santai aja, tetap
duduk di samping Lia. Seperti gak ada apa-apa. Oke?” kata Gina.
Amel mengangguk pelan.
Bel masuk berbunyi.Gina melapaskan
pelukannya lalu kembali ke tempat duduknya. Semua siswa di kelas itu sudah
masuk, kecuali Desi dan Lia. Amel melihat ke arah Gina. Gina tersenyum sambil
berbisik “gak apa-apa Mel”.
Tak lama kemudian Desi dan Lia
masuk. Tak seperti biasa, Lia duduk dengan Gina dan Desi duduk dengan Amel.
“ Lia lagi males duduk dengan kamu
katanya. Ah, sebenernya aku juga males duduk dengan penghianat” kata Desi
Sungguh, teganya Desi memojokkan
dirinya lagi. Apakah selama ini bagi Desi teman yang ia anggap hanya Lia saja?
Apakah selama ini Desi sebenarnya enggan berteman dengan Amel?Mengapa Amel
merasa sedari dulu memang tak pernah begitu akrab dengan Desi meskipun mereka
sering pergi bersama-sama?
“ Des, aku salah apa sih sama kamu?
Sampai seperti ini sikapmu padaku?”
“ Salahmu? Salahmu ya menghanati
sahabatku.”
“ Lantas? Apa aku tak termasuk
sahabatmu?”
“ Penghianat tak termasuk hitungan”
sahut Desi sinis
Ya
Tuhan. Sehina itukah aku? Mungkin aku salah karena mau diajak bertemu dengan
mas David, tapi bukankah David juga salah karena telah mengajakku bertemu?
Mengapa aku harus menjadi orang paling berdosa diantara mereka? Gumam Amel
dalam hati.
Saat ini yang paling diinginkan
Amel adalah pelajaran lekas berganti lalu bel pulang segera berbunyi. Amel ingin
segera pulang dan mengunci diri di kamarnya. Menangis sepuas-puasnya.
90 menit berlalu, bel sekolah
berbunyi. Tanda pergantian pelajaran. Sebentar lagi guru fisika mereka yaitu
Pak Hari akan memasuki kelas. Tiba-tiba Desi berdiri dan membawa bukunya. Ia
lalu duduk dengan Sony, di bangku paling belakang. Sejak pelajaran fisika
mulai, Desi duduk di sana. Sepertinya sampai pelajaran selesai dan bel pulang
sekolah berbunyi. Murid di kelas kami ada 31 orang. jadi wajar bila ada satu
orang yang duduk sendirian, yaitu Sony. Tapi sepertinya mulai hari ini, orang
yang duduk sendirian bukan Sony lagi. Kini orang yang duduk sendirian adalah
Amel.
Jam pelajaran usai. Bel sekolah
berbunyi, tanda pelajaran sekolah hari ini telah usai. Semua murid mengemasi
barang-barangnya lalu berdoa sebelum pulang.
Murid-murid keluar dari kelas
setelah Pak Hari keluar dari kelas. Lia, Gina, dan Desi berjalan beriringan.
Sesekali Gina menoleh kebelakang, menatap Amel yang berjalan dibelakang, lalu
berhenti berjalan. Kemudian Desi menarik tangannya. Mengajak Gina untuk tak
memperdulikan Amel.
Amel berjalan lesu. Ia ingin segera
pulang. Ia telah sampai digerbang sekolah, mencari-cari abang tukang becak yang
biasanya menjemputnya. Tiba-tiba seseorang menarik tangannya, menariknya untuk
masuk lagi ke halaman sekolah.
“ Apa-apaan sih? Siapa kamu?!
Kenapa sih orang-orang sibuk banget narik-narik tanganku hari ini?” Amel
berteriak sebal.
“ Amel, kok marah-marah sih? Ada
apa?” tanya David, orang yang menariknya barusan.
“ Mas David? Ada apa? Aku gak mau
bertemu dengan kamu lagi mas. Sudah cukup kamarin aja. Gara-gara itu saja aku sudah
kehilangan sahabatku!” Ujar Amel dengan nada tinggi.
“ Kenapa? Lia cemburu denganmu?
Heh, dengar ya Amel. Kalau mereka mengaku sahabatmu, meraka gak akan ninggalin
kamu atas kesalahan yang gak kamu perbuat.”
“ Udah deh, aku gak mau dengar
lagi. Aku mau pulang” kata Amel sambil beranjak pergi.
Ketika Amel memutar balik badannya
untuk pergi, dilihatnya Lia, Desi, dan Gina berdiri di depannya.
Prok prok prok. Lia bertepuk
tangan.
“ So sweet. Kanapa kalian gak
jadian aja ya?” kata Lia.
“ Kamu mengulangi kesalahan yang
sama Mel? Gak tahu malu. Gak punya perasaan”, kata Desi
Lagi-lagi Lia salah faham.
Lagi-lagi Desi memojokkannya. Dan lagi-lagi Gina hanya bisa diam.
Amel tak tahu harus berbuat apa. Ia
hanya menangis. Hari ini sangat melelahkan baginya. Sungguh ia ingin hari ini
cepat berlalu. Amel sudah lelah.
“ Li, ini gak seperti yang kamu
banyangkan. Sungguh Li, gak ada apa-apa” kata Amel
“ Ah, lagi-lagi kamu bilang begitu.
Aku gak percaya lagi sama kamu Mel. Dan kamu mas David, pacar macam apa kamu
ini yang tega berselingkuh dengan sahabatku?” kata Lia.
“ Aku gak ngelakuin apa-apa kok.
Dia yang memintaku untuk datang ke rumahnya kemarin, dan hari ini juga.” Kata
David
Amel tercengang. Apa maksud ini
semua? Ada apa dengan David? Mengapa ia meluncurkan kata-kata fitnah itu
dihadapan banyak orang?
“Hahahaha. Ya Tuhaaan. Cocok ya
kalian berdua, gak ada yang bisa dipercaya!” kata Lia dengan nada tinggi.
Gina mengusap-usap bahu Lia.
“ Sabar Lia, sabar”, kata Gina
“ Gimana bisa sabar? Harusnya dia
bisa belajar dari kesalahannya! Dia sahabatku, Na. tega-teganya berbuat
begini!!”
“ Apa sih salahku? Sudah kujelaskan
semuanya Lia. Kamu salah faham. Dan kata-kata dari mas David itu semua bohong!”
Kata Amel.
“ Kamu gak tahu salahmu apa Mel?
Kamu gak tahu? Ya ampun” kata Desi.
Gina mendekati Amel yang tak mampu
membendung airmatanya yang mengalir sangat deras. Gina memeluk Amel,
membelakangi Lia, David, dan Desi.
“ Amel, sabar ya. Kuberitahu,
sebenarnya kamu gak salah. Yah, hanya seja, kenapa sih hari ini kamu ulang
tahun?” kata Gina
“ Hah? Maksudnya?”
Ceplok!
Sesuatu yang basah, berlendir dan
berbau amis berhasil mendarat dengan manis di kepala Amel. Amel melapaskan
pelukan Gina. Gina tertawa lalu berlari menjauh.
“Selamat hari lahir sayaaang” kata
Lia dan Desi yang telah memberi telur mata sapi mentah di kepala Amel.
David menghampiri Amel lalu
memegangi Amel agar tidak lari. Lia dan Desi sibuk melempari Amel dengan
tepung. Amel meronta, lalu melepaskan diri. David, Lia, dan Desi berlari
menjauhi Amel. Mereka berkejar-kejaran di halaman sekolah, disaksikan
murid-murid yang sedang ekskul.
“Kaliaaaaan awaaaaas yaaaaaaaa”
teriak Amel.
Tak lama kemudian Gina
tergopoh-gopoh berlari, datang dengan sebuah kue tart kecil ditangannya. Gina
tersenyum senang.
“Hey sudah-sudah, ayo ditiup
lilinnya”
“Terimakasih teman-teman. Kalian
sangat berarti buatku” kata Amel
Amel, Lia, Desi, dan Gina
berpelukan. Amel mangusap air matanya, kali ini air mata haru.
Hari ini hari yang sangat
melelahkan. Tangis dan tawa manghiasi hari ini. Tak terasa hari mulai sore,
mereka harus pulang sebelum orang tua mereka mengomel lagi karena anaknya
pulang terlambat.
Ceplok! Sesuatu mendarat di kepala
Amel. Lagi-lagi.
“Ups, sori. Telur terakhir.
Hahahaaha.” Kata Gina sambil berlari menjauhi Amel.
“Ginaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!”